Pengantar

Secara umum, sifat manusia adalah terbiasa mendapatkan, bukan kehilangan. Kita cenderung melihat perolehan sebagai sesuatu yang seharusnya dan normal, sementara kehilangan dianggap tidak seharusnya dan tidak normal. Jadi, setiap kali kita kehilangan, kita tidak dapat menghindari merasa tertekan. Semakin besar kehilangan yang kita alami, semakin besar pula rasa tertekan itu. Kita bertekad untuk mengembalikan yang hilang, untuk mengkompensasi apa yang telah hilang. Dalam peta mental kita, jalan hidup tampak digambarkan dengan serangkaian perolehan, dan kehilangan adalah kesalahan yang harus kita hapus.

Proses Kehidupan

Faktanya sederhana: kehilangan juga merupakan fenomena normal dalam kehidupan. Seluruh kehidupan adalah proses yang terus-menerus mendapatkan dan kehilangan. Jika dilihat dari hasil akhirnya, kehilangan lebih esensial dibandingkan dengan perolehan. Pada akhirnya, kita semua akan kehilangan hadiah terpenting dalam hidup—kehidupan itu sendiri, disertai dengan semua yang telah kita peroleh selama kehidupan. Beberapa kehilangan tampak kebetulan, seperti kerugian yang disebabkan bencana alam atau musibah, tetapi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. "Setiap orang menghadapi kebahagiaan dan kesengsaraan", karena menjadi manusia, kita harus memiliki mental dan keberanian untuk menghadapi suka dan duka.

Kesiapan Menghadapi Rintangan

Adapun kegagalan dan kemunduran dalam masyarakat, itu adalah pengalaman umum yang harus kita hadapi dalam kehidupan. Oleh karena itu, ketidakbiasaan terhadap kehilangan setidaknya menunjukkan kurangnya pemahaman tentang arti kehidupan. Seseorang yang hanya mengharapkan perolehan dan tidak mau kehilangan, meskipun tampak bersemangat, sebenarnya rapuh dan mudah jatuh setelah mengalami kehilangan besar. Baik agama timur maupun barat memiliki konsep memberikan. Saya memahami bahwa pengertian dasar dari memberi adalah mengajarkan orang untuk menghilangkan rasa serakah, untuk tidak terikat pada harta, dan pada akhirnya tidak terikat pada semua hal di luar diri mereka, bahkan pada kehidupan duniawi. Dengan cara ini, kita bisa memahami mengapa Buddhisme menempatkan memberi sebagai yang pertama dari "enam kebajikan", sebagai jembatan pertama untuk menyeberang dari kebingungan menuju pencerahan.

Studi Tentang Diri

Buddhisme menganjurkan konsep "tanpa kita"; jika "aku" tidak ada, maka "milikku" juga tidak ada. Tidak ada yang benar-benar milik kita, bahkan diri kita sendiri tidak milik kita, apalagi harta. Memahami hal ini, lalu apa yang harus dikhawatirkan tentang kehilangan? Tentu saja, Buddhisme bagaimanapun adalah filosofi yang terlalu pesimis untuk dipromosikan. Hanya bagi mereka yang terjun terlalu dalam ke dalam dunia, ini adalah pengingat yang diperlukan. Kita dapat berusaha keras di masyarakat, tetapi di dalam hati kita harus menyimpan sedikit keterikatan. Dengan keterikatan ini, kita dapat lebih tenang dalam merasakan berbagai rasa kehidupan, termasuk rasa kehilangan.

Menghadapi Kehilangan

Apa yang telah hilang dariku tidak mungkin diperoleh kembali. Saya mungkin bisa mendapatkan beberapa hal, tetapi pada akhirnya saya akan kehilangan lagi. Saya pada akhirnya ditakdirkan untuk kehilangan diri saya sendiri dengan cara yang tidak mungkin diselamatkan. Jika demikian, mengapa saya harus menghargai perolehan dan kehilangan? Segala sesuatu yang saya miliki, termasuk hidup saya, bisa saya gunakan sebagai eksperimen; pada akhirnya, itu hanya berarti saya kehilangan lebih awal. Kita selalu berpikir bahwa sesuatu yang kita miliki adalah milik kita. Begitu kehilangan, kita merasakannya sebagai kerugian. Faktanya, segala sesuatu selalu berubah, tidak ada yang benar-benar bisa kita miliki. Apa pun yang kita dapatkan, pada saat mati kita akan menyerahkan segalanya. Mungkin lebih baik terus-menerus mendapatkan dan kehilangan dalam hidup, menjadikannya hal yang biasa, sehingga mungkin kita dapat menghadapi kematian dengan lebih tenang. Di sisi lain, bagi jiwa yang bisa menerima, tidak ada yang benar-benar hilang.